Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh), subjek PPh terdiri dari orang pribadi, badan dan warisan. Dengan kata lain, pajak penghasilan juga diberlakukan kepada suatu badan usaha atau perusahaan atas barang atau jasa yang dikelolanya. Ada beberapa jenis pajak penghasilan badan usaha. Apa saja jenisnya? Bagaimana aturan tarif dan cara perhitungannya? Berikut ini penjelasannya.
Daftar Isi
Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak, baik berasal dari dalam maupun dari luar negeri, yang dapat menambah kekayaan yang bersangkutan. Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap penghasilan orang pribadi dan badan yang diterima selama satu tahun pajak.
Dari ketiga subjek pajak yang diatur dalam Undang-Undang, yaitu pribadi, badan dan warisan, jenis dan perhitungan untuk subjek pajak badan usaha akan menjadi fokus pada pembahasan kali ini.
Pajak Penghasilan Badan Usaha merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan suatu perusahaan, di mana penghasilan yang dimaksud adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh badan usaha tersebut, baik dari dalam maupun luar negeri. Penghasilan tersebut digunakan untuk keperluan apapun termasuk menambah kekayaan, konsumsi, investasi, dan sebagainya.
Penarikan pajak kepada suatu badan usaha ditentukan dari barang atau jasa yang dikelolanya. Sesuai dengan aturan yang berlaku, seluruh badan usaha di Indonesia yang berbentuk Perusahaan Terbatas (PT), Perusahaan Firma, dan Perseroan Komanditer (CV) yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) berkewajiban membayar pajak.
Selain badan usaha yang disebutkan sebelumnya, ada pula beberapa badan yang dikecualikan, alias tidak harus membayar pajak, termasuk :
Seperti halnya subjek pajak pribadi, subjek pajak badan usaha atau perusahaan yang dikenakan pajak penghasilan badan juga harus melaporkan perhitungan penghasilannya dalam bentuk SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan), dengan mendatangi kantor pelayanan pajak paling lambat 31 Maret setelah berakhirnya tahun pajak.
Sanksi akan diberlakukan kepada subjek pajak badan yang tidak melaporkan SPT kepada kantor pajak. Sanksi tersebut berupa surat teguran maupun tindakan tegas berupa penyanderaan atau dikenal dengan istilah “gijzeling”.
Peraturan yang berlaku mengenai pajak Badan, antara lain:
Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan. Bagi Subjek Badan dalam negeri, yang menjadi objek PPh adalah semua penghasilan baik dari dalam maupun dari luar negeri sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang PPh yang meliputi:
PPh Pasal 15 mengatur atas laporan pajak yang berhubungan dengan Norma Perhitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu dan perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangunan serah guna. Jenis pajak ini juga wajib dibayarkan sesuai dengan yang tertera pada SKT (Surat Keterangan Terdaftar). Wajib pajak yang dikenakan PPh Badan pasal 15 termasuk :
Pajak penghasilan yang ini adalah pajak atas penghasilan yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan bentuk apapun. Hal ini sesuai dengan PPh Badan yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang diterima wajib pajak dalam negeri atau karyawan yang dibayarkan setiap bulannya.
Sebuah perusahaan mengelola pemungutan pajaknya dengan cara memotong langsung penghasilan para karyawan dan menyetorkannya ke kas negara melalui bank. Hal ini membuat para pekerja tidak lagi perlu membayarkan sendiri jenis pajak ini. Ada 5 macam penghitungan untuk PPh Pasal 21, yaitu penghitungan untuk :
Pajak penghasilan pasal 22 ini mengatur pemungutan pajak dari Wajib Pajak yang dibebankan pada badan usaha tertentu karena melakukan aktivitas perdagangan terkait dengan ekspor, impor, maupun re-impor.
Pihak pemungut pajak tersebut adalah bendahara pemerintah pusat atau daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang.
Pajak juga bisa dikenakan oleh badan-badan tertentu, baik itu badan usaha pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor. Selain itu, wajib pajak badan juga dapat memungut pajak kepada pembeli atas penjualan barang mewah.
Tarif PPh Pasal 22 atas impor:
Apabila menggunakan Angka Pengenal Importir (API) adalah 2,5% x nilai impor, jika tidak menggunakan API maka tarifnya sebesar 7,5% x nilai impor.
Tarif PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi :
Tarif PPh Pasal 22 atas Pembelian Bahan-bahan untuk Keperluan Industri tarifnya 0,25% x harga pembelian (Tidak termasuk PPN).
PPh Badan yang sesuai dengan pasal 23 ini mengatur atas pemotongan pajak dari Wajib Pajak ketika terjadi transaksi dividen atau pembagian keuntungan saham, royalti, bunga, hadiah dan penghargaan, sewa, dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan aset selain tanah dan transfer bangunan atau jasa.
Tarif PPh 23 dikenakan berdasarkan nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari penghasilan yang didapatkan.
Karena itu tarif 15% dari jumlah bruto ini terdiri dari :
Tarif 2% dari jumlah bruto terdiri atas :
PPh yang berdasarkan Pasal 25 ini mengatur atas angsuran pajak yang berasal dari jumlah pajak penghasilan terutang menurut SPT PPh, dikurangi PPh yang telah dipungut, serta PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan boleh dikreditkan.
Pembayaran pajak harus dibayarkan sendiri tanpa bisa diwakilkan oleh siapapun. Pembayaran pajak ini dilaksanakan secara berangsur dengan tujuan untuk meringankan beban wajib pajak dalam pembayaran pajak tahunannya. Adapun sanksi keterlambatan pembayaran pajak yaitu pengenaan bunga 2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
Angsuran pajak/bulan = (PPh terutang – kredit pajak) / 12
Pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Berdasarkan aturan, tarif umum PPh Pasal 26 adalah 20%.
PPh Pasal 26 merupakan penerapan dari asas sumber yang dianut dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia. Berdasarkan asas sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia bisa dikenakan pajak di Indonesia.
PPh Pasal 29 dihitung berdasarkan nilai lebih pajak terutang (pajak terutang dikurangi kredit pajak), yaitu saat jumlah pajak terutang suatu perusahaan dalam satu tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak lain dan telah disetor sendiri. PPh ini harus dibayarkan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan.
Tarif PPh Pasal 29:
PPh Pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan pajak yang dipungut dari penghasilan yang dipotong dari bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lainnya, serta transaksi lain sebagaimana diatur dalam peraturan yang ditetapkan.
Sebetulnya, tidak semua Wajib Pajak Badan dikenakan semua jenis pajak badan usaha yang disebutkan tadi. Dalam kenyataannya, bisa jadi suatu badan usaha hanya dikenakan satu jenis pajak penghasilan tersebut. Maka dari itu, setiap Wajib Pajak Badan perlu memahami kewajiban apa saja yang menjadi tanggung jawab masing-masing.
Baca juga :
Sebelum melakukan perhitungan Pajak Penghasilan Badan Usaha, perlu terlebih dahulu diketahui nominal penghasilan kena pajak badan. Caranya yaitu dengan mengurangi penghasilan neto fiskal dengan kompensasi kerugian fiskal, dimana penghasilan neto fiskal merupakan penghasilan neto yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri, baik dari kegiatan usaha maupun bukan, setelah melewati penyesuaian fiskal yang berdasarkan ketentuan perpajakan. Sedangkan kompensasi neto fiskal adalah kerugian yang dialami badan. Apabila menggunakan pembukuan, kerugian tersebut dapat dikompensasi selama lima tahun secara berturut-turut.
Nominal ini didapat dengan mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak yang berlaku. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak yang dikenakan kepada badan adalah 25%. Besar tarif ini berlaku sejak tahun pajak 2010. Tarif lebih rendah dapat dikenakan kepada wajib pajak badan dalam negeri dengan ketentuan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka cara menghitung tarif PPh badan adalah seperti contoh berikut ini :
PT X memiliki jumlah Penghasilan Kena Pajak senilai Rp2.000.000.000, maka tarif PPh badan yang harus dibayarkan adalah 25% x Rp2.000.000.000 = Rp500.000.000.
Penghasilan yang dipotong dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final tidak termasuk dalam ketentuan ini. Tarif pajak final diatur dalam aturan tersendiri berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Selain mekanisme di atas. ada juga hal lain yang harus dipahami, yaitu peredaran bruto dan kepentingannya dalam penghitungan PPh Badan. Peredaran bruto adalah seluruh penghasilan yang diterima, baik orang pribadi maupun badan.
Jika wajib pajak memilih untuk tidak melakukan pembukuan, PKP akan dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Sebaliknya, jika wajib pajak melakukan pembukuan yang benar, penghitungan PKP dilakukan berdasarkan catatan yang tertulis di pembukuan.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang dimaksud dapat mengacu pada pasal 14 UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh. Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, Norma Penghitungan Penghasilan Neto dibagi dalam 2 jenis berdasarkan jumlah peredaran bruto, yaitu:
Penghasilan Kotor (Bruto) (Rp)
Tarif Pajak
Kurang dari Rp4,8 Miliar
50% x 25% x Penghasilan Kena Pajak
Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50 Miliar
[(50%x25%) x Penghasilan Kena Pajak yang Memperoleh Fasilitas] + (25% x Penghasilan Kena Pajak Tidak Memperoleh Fasilitas
PPh badan terutang dengan peredaran bruto di atas Rp50 miliar akan dihitung berdasarkan ketentuan umum atau tanpa fasilitas pengurangan tarif. Jadi dapat disimpulkan bahwa besar PPh badan tetap adalah 25% x penghasilan kena pajak.
Pada tahun 2019,PT X memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp10 Miliar. Maka, sebelum menghitung pajak yang harus dibayar PT X, kita harus mengetahui terlebih dahulu Penghasilan Kena Pajak PT X. Misalkan pajak yang harus dibayar adalah:
50% x 25% x Rp5 Miliar = Rp 625 juta.
Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun tersebut, PT X telah menyetor pajak penghasilan karyawan ke kas negara sebesar Rp100 juta dan pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp200 juta. Maka, pajak penghasilan terutang PT X adalah:
Rp625 juta – Rp100 juta – Rp200 juta = Rp325 juta.
Rp 325 Juta adalah angka yang bisa dicicil oleh PT X ke kas negara atas penghasilan Badan Usaha di tahun 2019.